Frame of Experience

Rabu, November 15, 2017

Di sekolah bayi imut kami, ada salah satu oknum anak yang sudah terlihat benih-benih bully nya.
Terutama kepada syaima yang usia nya lebih kecil.
Syaima umurnya paling kecil di sekolah.
Sementara si oknum anak ini, usia nya satu-dua tahun di atas syaima.
Dan hampir setiap hari saya melihat si oknum anak ini setidaknya memelototi syaim.
SETIAP HARI. Bayangkan.
Gemes ihh.
Kalo ngikutin nafsu emosi mah sudah saya omel-omelin anak tersebut.
But, that's solve nothing.

Akhirnya saya hanya memandang nya tanpa berkedip.
Tidak, tidak melotot sama sekali.
Hanya memandang lempeng tanpa ekspresi dan tanpa berkedip.
Hihii.. Horor juga ya..
Kadang saya tegur dengan kalimat halus.
Tapi jarang.
Seringnya saya yang mengkondisikan syaima agar jauh-jauh dari anak tersebut.
Setidaknya ibu dari anak tersebut cukup peduli ketika si anak 'beraksi' dan tidak dicueki saja.
***
Oke.
Jadi kenapa saya malah bercerita tentang syaima ya.. Hehee..
Fokus pada kalimat selanjutnya.
Jadi.
Saya menceritakan hal tersebut di atas kepada suami.
Saya ceritakan apa yang dilakukan si oknum anak tersebut.
Dan saya juga menceritakan sikap saya kepada si anak tersebut.
Hasilnya ?
Ternyata kita berbeda sudut pandang.
Saya mengantisipasi agar syaima tidak terpapar hal-hal negatif, karena memang syaima sedang di usia 'copy-paste'.
Dan saya tidak mau syaima meng-copy apa yang dilakukan si oknum anak tersebut.
Tapi.
Menurut suami, saya ini terlalu protektif.
Kata beliau, orang tidak akan menjadi kuat dengan sendirinya.
Padahal kan ini bukan soal kuat atau lemah.
Tapi soal mencegah paparan negativisme.
Lagi-lagi kami berbeda frame of reference yang diawali perbedaan frame of experience.
#harike14 #gamelevel1 #tantangan10hari
#kuliahbunsayiip #komunikasiproduktif

You Might Also Like

0 komentar