Fase Perkembangan Anak dalam Konsep Islam
Sabtu, November 25, 2017Photo dari Pinterest |
Assalamu'alaykum wa rahmatullahi wa barakatuh. Alhamdulillah, Allah beri lagi kesempatan kita untuk kembali menjadi hamba-hamba yang senantiasa berusaha meraih ridha-Nya. Salah satunya dengan bersemangat menjalankan salah satu asas utama agama Islam, yaitu majelis Ilmu. Jazaakumullah khayran atas seluruh pertanyaan yang masuk.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk, karena banyak pertanyaan terkait ttg usia anak dan apa tahapan yg tepat saat usia anak tsb; maka sebelumnya kita perlu tuntas dulu membahas prinsip-prinsip pendidikan anak dalam Islam. Tentunya ini memerlukan pembahasan khusus. Namun secara singkat, anak-anak memiliki fase usia yang perlu kita kenali; masa bayi, masa thufulah, masa tamyiz, masa amrad, dan masa taklif.
Maka awalilah dengan mengenal usia anak kita dan apa saja yang menjadi prioritas pendidikan bagi mereka di masa itu. Sehingga ketika kelak anak menginjak usia mumayyiz, anak sudah memiliki ikatan aqidah, ibadah, ruhiyah, aqliyah, jasmaniyah, akhlak, muamalah yang baik.
Semua fase tersebut adalah bagian dari mengantarkan anak kita kepada keselamatan dunia dan akhirat. Agar kita tidak lalai terhadap kewajiban yang ada dalam surat At-Tahrim ayat 66.
Jika banyak yang belum familiar dengan fase-fase tersebut, saya kutipkan ya.. Diambil dari tulisan “Mendidik Anak Menuju Taklif” buah karya Ust Fauzil Adhim.
Fase perkembangan anak dalam konsep Islam yaitu:
1. Masa bayi (0 hingga 2 tahun)
Pada fase ini orang tua anak perlu untuk mengembangkan kasih sayang secara dua arah di mana ibu memberikan kasih sayangnya dan dalam waktu bersamaan juga mengembangkan kemampuan anak memberikan respon terhadap kita.
Ini seperti yang sering kita perhatikan dalam fase pertumbuhan anak secara umum dimana kita memang diharapkan mengajarkan dan memperhatikan anak untuk dapat memberikan respon terhadap kita. Meski beberapa orang menganggap hal ini biasa, tapi dalam pengamatan saya pribadi anak tidak akan berkembang maksimal jika orang tua (atau orang sekitar) kurang memberikan stimulasi pada anak. Di sini yang dimaksud mengembangkan kemampuan anak adalah memberikan respon. Di masa ini, kita bisa memperbanyak membacakan ayat-ayat suci dan dzikir di telinga ananda, misalnya saat menyusui atau menjelang tidur.
2. Masa anak-anak (2-7 tahun atau disebut dengan fase thufulah)
Pada fase inilah merupakan fase penting memberikan pondasi dasar tauhid pada anak melalui cara aktif agar anak terdorong dan memiliki tauhid aktif dimana anak mau melakukan sesuatu yang baik semata menurut Allah. Fase ini fase penting penanaman pondasi bagi anak. Tinggal cari cara nih bagaimana menerapkannya.
3. Masa Tamyiz (7-10 tahun)
Di fase ini anak sudah mulai mampu membedakan baik dan buruk berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase inilah kita sudah mulai mempertegas pendidikan pokok syariat.
4. Masa Amrad (10-15 tahun)
Fase ini adalah fase dimana anak mulai mengembangkan potensi dirinya guna mencapai kedewasaan dan memiliki kemampuan bertanggung jawab secara penuh. Dalam islam, fase ini juga merupakan fase dimana anak mencapai aqil baligh sehingga sudah semakin pandai menggunakan akalnya secara penuh. Salah satu yang menjadi tuntutan bagi anak kemudian adalah kepandaiannya dalam mengatur harta yang dimulai dengan kemampuan mengatur anggaran untuk dirinya sendiri.
5. Masa Taklif (15-18 tahun)
Pada masa ini anak seharusnya sudah sampai pada titik bernama taklif atau bertanggung jawab. Bagi lelaki setidaknya fase ini paling lambat dicapai di usia 18 tahun dan bagi anak perempuan paling lambat dicapai di usia 17 tahun. Tanggung jawab yang dimaksud selain pada diri sendiri juga tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat sekitar dan masyarakat secara keseluruhan.
Dengan memahami fase pertumbuhan dan perkembangan anak secara Islami maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peran orang tua sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, karena sesuatu yang baik harus selalu benar menurut syariat agar amalan itu diterima dan diridhai. Sesuatu yang benar dalam Islam insya Allah mengandung kebaikan. Sesuatu yang baik (dalam pandangan manusia) tapi tidak benar (melanggar syariat) adalah sesuatu yang sebaiknya dihindari, apalagi jika salah dan tidak sesuai syariat tentu sudah harus sangat ditolak.
Yang tidak kalah penting bahwa dengan mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anak, maka diharapkan pengembangan minat dan bakat anak akan menjadi baik dan anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi seorang individu dewasa yang produktif dan Islami.
Lalu, kembali ke surat At-Tahrim ayat 6 tadi, ternyata apa tugas utama kita terhadap keluarga? Memelihara diri dan keluarga dari api neraka. Na'udzubillah.
Selanjutnya, pahami bagi kita bahwa anak-anak dan calon anak kita adalah bagian dari perhiasan kehidupan dunia (Al-Kahfi ayat 46) sekaligus cobaan (At-Taghabun ayat 15). Maka mendidik mereka menjadi penyenang hati (qurrata a'yun) adalah hal yang perlu diikhtiarkan dan didoakan.
Ada beberapa doa dalam Al-Qur'an dan hadits mengenai mendidik anak.
Di antaranya adalah
Rabbi hablii minash shalihiin
(yaa Tuhanku anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang shalih).
Ini adalah doa nabi Ibrahim yang ketika itu meminta agar dianugerahi seorang anak dari istri yang bahkan sudah tua dan mandul.
Selain itu, ada doa nabi Zakariya yang juga dianugerahi anak di usia senja. Siapa yang tahu doa indah Nabi Zakariya?
"Wahai Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."
Ada dalam surat Ali Imran ayat 38.
Ada dalam surat Ali Imran ayat 38.
Maka syukurilah bagi yang telah diamanahi anak, karena ada banyak sekali kisah di Al-Qur'an yang menceritakan tentang orang-orang yang ingin memiliki anak. Di antaranya ialah Fir'aun (di masa Nabi Musa) dan Aziz (di masa Nabi Yusuf).
Selanjutnya, dalam Al-Qur'an dan sejarah Islam, kita telah diperkenalkan dengan berbagai contoh mendidik anak. Apa pun dan bagaimana pun situasinya. Kita belajar bagaimana berikhtiar dan bertawakkal tatkala menginginkan kehadiran seorang anak dari Nabi Ibrahim dan Zakariya, kita belajar bagaimana mendidik anak dari ayah shalih seperti Rasulullah dan Khadijah, mendidik anak tanpa ayah dari Ibunda Maryam, mendidik ummat dan anak-anak lain meski tidak memiliki anak dari Asiyah dan Aisyah, kita belajar bagaimana berikhtiar mendidik anak yang belum mau beriman hingga penghujung waktu sebagaimana Nabi Nuh dan Nabi Luth, kita belajar mengatasi kecemburuan antar-anak dari Nabi Ya'qub, kita belajar peran ayah bagi pendidikan anak dari surat Luqman - melalui nasehat-nasehat indahnya, kita belajar mendidik panglima Islam seperti Zubair dari kisah Shafiyah, dan lain sebagainya.
Tuntaskan dahulu pengetahuan dan riset kita mengenai dasar-dasar pendidikan anak, baru kita bicara hal teknis. Membaca aneka postingan parenting yang beredar di media sosial, boleh. Tetapi tuntaskan dulu kitab pendidikan anak dalam Islam, tuntaskan dulu sirah nabawiyah, sahabat, dan shahabiyah. Berdiskusi tentang pilihan sekolah bagi anak dengan suami, boleh dan harus. Tetapi tuntaskan dulu berdiskusi mengenai prinsip pendidikan yang diajarkan Rasulullah shalallahu 'alayhi wa sallam dan apa rencana jangka panjang kita saat kelak mendidik anak kita.
Ada yang pernah membuat rencana pendidikan bagi anak-anaknya? Jika ada dan berkenan, silakan dishare garis besarnya untuk teman2 di sini.
Kemudian, apa yang pertama kali kita kenalkan pada anak tentang Islam? Sebaiknya dimulai dari apa dan bagaimana?
Jawabannya ialah Ma'rifatullah; mengenal Allah. Pengenalan dengan Allah inilah yang kelak memancar dalam seluruh lini kehidupan anak. Sifat Allah apakah yang pertama kali perlu dikenalkan kepada anak? Jawabannya ada dalam surat Al-'Alaq ayat 1 sampai 5. Ternyata jawabannya ada di dalam ayat yang pertama kali Allah turunkan.
Apa dan bagaimana? Karena kita bicara mengenai asas, yaitu hal yang pertama kali disampaikan kepada anak. Maka jawabannya adalah dengan teladan. Kisahkan dan jelaskan kepada anak bahwa Allah Maha Pencipta. Bahwa ke mana pun kita menghadapkan wajah, ada ciptaan Allah. Seluruh yang ada pada dirinya, hingga bentangan alam semesta. Kemudian mengenai sifah Al-Karim, kita asah kepekaan anak kita untuk menjadi hamba Allah yang pemurah dan berakhlak mulia. Dari mana mereka belajar? Dari apa-apa yang dicontohkan orangtuanya.
Oleh Azka Mahidah
Penulis buku Kreasi Asik Muslim Cilik
Lanjut ke Bagian 2 Di Sini
0 komentar