Healing : Menyalurkan Emosinya & Melepaskan Luka Hatinya

Sabtu, Desember 02, 2017

 
 
Hari ini rumah sangat berantakan, ditambah remah-remah cemilan bertaburan di lantai.
Mainan dari stik es krim hingga sepeda berserakan di lantai.
Ketika itu Syaima tengah makan siang diantara 'reruntuhan' tersebut.
Saya sendiri masih merapikan kulkas di dapur.
Kemudian Syaima ke dapur mengambil minum, dan membawa gelasnya untuk kembali makan.
Tak lama saya dengar suara gelas (plastik) jatuh dan dia mulai merengek.
Saya sudah menebak, pasti minumnya tumpah.
Seperti biasanya, ini bukan masalah buat saya, tinggal dilap, kelar.
"Ummi, minumnya jatuh".
"Dilap ya," saya memberikan handuk kecil padanya.
Lalu dia mulai mengelapnya. Saya melirik 'lokasi kejadian' dan ternyata air yang tumpah cukup banyak.
Saya kembali membereskan kulkas.
"Elap pake tisu saja ya..", kata Syaima.
Sepertinya lap yang tadi saya berikan tidak cukup.
"Iya", saya menjawab sambil melangkah ke 'lokasi'.
Dan oohhh... airnya sudah berceceran kemana-mana. Menetes dimana-mana diantara 'reruntuhan' di lantai. Bajunya basah.
Kendalikan emosi, dia tidak sengaja, sudah bagus dia makan sendiri, ambil minum sendiri.. saya mulai berkata pada diri sendiri.
Tapi tangan saya mengambil lap dari tangan si Bayi Imut.
Lalu membereskan semuanya dalam diam.
Syaima merengek minta maaf, saya tidak tega mendengarnya.
Tapi saya tetap diam. Saya takut mengucapkan kata yang tidak pantas jika berbicara saat emosi masih bergejolak.
Lalu Syaima saya ajak tidur, saya belum mengucapkan maaf padanya. Saya hanya menanyakan apa dia masih mau menangis, dan dia menggeleng.
Biasanya jika saya emosi, beberapa menit kemudian saya langsung memeluk dan minta maaf padanya.
Tidak lama kemudian dia terbangun. Saya tau dia masih belum lega. Saya memeluknya.
"Apa syaima marah kepada ummi ?"
"Tidak"
"Apa syaima jengkel kepada ummi ?"
"Tidak"
"Apa ummi nakal ?"
"Tidak, ummi tidak nakal".
"Apa syaima mau pukul ummi ?"
"Tidak"
Pukul di sini bukan memukul serius, tapi cara dia membela diri dan mengkespresikan emosinya ketika dia terganggu dan marah meledak-ledak kepada seseorang.
"Apa syaima jengkel kepada ummi ?"
"Tidak"
Saya mengulangi pertanyaan. Dan entah dari mana dia bisa berpura-pura baik-baik saja.
Lalu saya katakan padanya, "Syaima boleh jengkel kok. Boleh. Boleh jengkel".
Saya menekankan kata 'Boleh' lalu mulai bertanya lagi.
"Apa syaima jengkel kepada ummi ?"
"Iya, aku jengkel sama ummi..", dan dia mulai menangis.
"Kamu jengkel sama ummi ?", tanya saya dengan nada sangat lembut. Meng-highlight apa yang dia rasakan.
"Iya, aku jengkel sama ummi", dan dia sesegukan menahan tangis.
"Maafkan ummi ya.."
"Iya, maafkan Syaima juga"
"Maafkan ummi ya.."
"Iya, maafkan Syaima"
Beberapa kali saya mengulang kalimat itu agar sampai ke alam bawah sadarnya.
Entah ini bener atau hanya perasaan saya saja, tapi saya merasa it's work.
"Iya, ummi maafkan Syaima, Syaima maafkan ummi juga ya".
"Iya, aku maafkan ummi".
"Terimakasih sayang"
"Sama sama"
Saya memeluk dan menciumnya.
Sudah ?
Belum.
"Syaima masih mau menangis ? Menangis saja, boleh menangis.."
"Iyaa..."
Saya memeluknya dan dia menangis lepas selama beberapa menit.
Setelah dia selesai, dia berhenti menangis dan sudah, dia kembali ceria seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Tapi jika saya tidak minta maaf dan melakukan healing pada hatinya yang terluka, dia mungkin akan terlihat normal dan baik-baik saja, tapi ada trauma dan 'cacat' karena 'bekas luka' di hatinya yang tidak dihilangkan.
Inilah 'benih-benih' innerchild yang akan mengganggu hidupnya dan kita (orang tua) akan dimintai tanggungjawab atas apa yang kita lakukan pada anak kita.
 
 
Ummu Kafa
٢٤ صفر ١٤٣٩

You Might Also Like

0 komentar