Suami Bukan Paranormal

Minggu, April 19, 2020



Oleh Bunda Euis Kurniawati


Alkisah terjadi dialog suami (s) dan istri (I) di suatu sore..


S: Yank, cari makan diluar yuk

I: Asyik, yuk yuk…

S: Mau makan apa nih?

I: Terserah cinta

S: Soto gimana ?

I: Kemarin soto, masak skrg soto lagi sih yank?

S: Hmm,, kalau pangsit ?

I: Enak juga sih, tapi jauh euy. Takut macet jam segini.

S: Atau penyetan aja gimana ?

I: Yah, gak modal amat makan penyetan. Mahalan dikit kenapa? Itung-itung ngedate gitu hihihi.

S: Lah terus apa dong ?

I: Terserah

S: #==/$&+&++


===


Di waktu dan sikon yang berbeda....


S: Bunda, kenapa wajahnya ditekuk gitu? Lagi sedih? Ada apa ?

I : Gak ada apa2

S : Oh gapapa. Ya udah kalau gitu. *lanjutin baca

I : Kok gitu doang sih. Bukannya menghibur istrinya *manyun

S : Lho tadi ditanya katanya gak ada apa-apa

I : Ya kan gak usah cerita, mestinya mas tau kalau aku lagi sedih. Udah jelas-jelas wajahnya berubah *mulai mewek

S : @)#&//&()


===


Pernah ngalami hal serupa? Sama dong dengan saya.

Hihihi.

Tapi itu dulu kok, pas awal-awal nikah dan belum paham ilmunya.

Alhamdulillah banyak perubahan signifikan setelah belajar perbedaan pola komunikasi dan kebutuhan emosi antara kaum adam dan hawa.

Ini contoh kesalapahaman yang umum terjadi antara pria dan wanita karena mereka berbicara dengan bahasa yg berbeda.

Yup, laki-laki umumnya memiliki pola komunikasi eksplisit.

Memberi dan menangkap pesan dengan jelas, clear, dan to the point.

Sedang sebaliknya, perempuan lebih sering mengunakan pola komunikasi implisit. Untuk dapat mengungkapkan perasaan-perasaan secara utuh, wanita menggunakan berbagai macam superlatif, metafor dan generalisasi.

Bahasa kekiniannya kasih kode dan pesan ambigu.

Hmm.. kebayang efeknya?

Jika seorang wanita mengatakan “aku tidak apa-apa” sebenarnya ia sedang memberi isyarat kepada suaminya bahwa ia sedang apa-apa.

Tapi suami tak bisa menangkap pesan ini dengan baik karena memang kaum adam sulit menangkap pesan-pesan implisit.

Jika yang istri katakan A padahal maksudnya B, maka yang bisa mereka tangkap adalah apa yang keluar dari lisan istri yaitu A.

Jadi untuk para istri, mulailah belajar berkomunikasi dengan bahasa yang mudah dipahami suami.

Jangan lagi menggunakan kalimat2 ambigu.

Tinggalkan kode.

Pilihlah bahasa yang paling mudah dipahami untuk mengurangi miskomunikasi.

Jika ingin A, katakan A. Jika berharap B, katakan B.

Mulailah belajar menyampaikan uneg-uneg yang ada, mulailah berlatih menyampaikan ide dan perasaan yang sebenarnya.

Tak perlu pakai bahasa kiasan, tak usah pakai bahasa ambigu.

Karena suami bukanlah paranormal yang —katanya— bisa menebak pikiran dan isi hati kita.

Jangan sampai karena tuntutan alam bawah sadar kita untuk menjelma menjadi sosok istri yang shalihah kemudian memangkas keberanian kita untuk menyampaikan pendapat dan uneg-uneg di dada.

Hati-hati, jika tidak disalurkan dengan tepat, ia bagai bola es yang terus menggelinding membesar dan berbahaya.

Kalau ndak bisa ngomong langsung bagaimana?

Biasa, perempuan, bisa jadi belum ngomong udah nangis duluan.

Ga jadi ngomong deh.. Hehehe..

Banyak jalan menuju Roma.

Pointnya kan yang penting terkomunikasikan, caranya bisa beragam.

Salah satunya dengan saling diskusi via chat/pesan singkat.

Btw, ini cara ampuh bagi kami saat ada dlm kondisi “emergency”.

But, it’s totally work!

Yuk, stop kasih kode.

Bicara yg jelas.

Ikuti kaidah 2C : Clear and Clarify.

I’m responsible for my communication results.

Hasil dari komunikasi adalah tanggung jawab komunikator, si pemberi pesan. Jika ia tidak paham atau salah memahami, jangan buru-buru menyalahkan. Jangan-jangan memang cara dan bahasa kita yang belum tepat?

Yuk sama-sama belajar. Belajar sama-sama. Moga samara till jannah.


Griya Istiqomah, 1 Februari 2017


-  -

You Might Also Like

1 komentar