Ketika Lingkungan Rumah Menjadi Zona Merah Bagian 2

Jumat, Juni 19, 2020




Kemarin, perumahan kami heboh.

Sehari sebelumnya sudah saya ceritakan di postingan ini.

Berawal dari salah seorang penduduk yang dinyatakan positif Covid-19, lalu diiringi test swab dan rapid test pada orang-orang dalam daftar riwayat interaksi. Kemudian disusul kabar satu orang lagi positif dan penjemputan dua orang anggota keluarga pasien pertama.

Hari itu benar-benar menegangkan.

Walaupun saya hanya di rumah saja, kabar kondisi di luar tetap berseliweran di grup dan sosial media.

Sekedar informasi, lokasi perumahan kami agak terpisah dari perumahan utama. Orang biasa menyebutnya; Sektor 3. Mungkin karena pembangunan area perumahan ini adalah pelebaran tahap ke-tiga setelah perumahan di jalan utama, dan perumahan di area depan.

Akses menuju area sektor ini melewati satu jalan kecil, agak mudah diblokir sebenarnya. Karena hanya ada satu jalan utama untuk keluar-masuk area ini. Ada beberapa jalan di belakang pun hanya  berupa jalan tikus.

Kembali ke perihal pandemi.

Beberapa ibu-ibu—tetangga di rumah—mengaku cemas dan cenderung takut. Bagaimana tidak, hari itu turun perintah akses ke gang di mana pasien pertama—sebut saja Bapak X—ditutup alias di-lockdown. Semua warga yang berada di gang di mana Bapak X tinggal, tidak boleh keluar-masuk dari gang tersebut.

Bupati bahkan mengunjungi langsung lokasi gang tersebut. Dan pastinya membawa serta segenap protokol pengaman. Banyak polisi dan truk polisi besar di area masuk perumahan kami. Dan itu bikin heboh!

Malam harinya ada kegiatan penyemprotan desinfektan di area perumahan kami. Tapi menurut saya pribadi sih, itu kurang efektif. Karena kegiatan penyemprotan ini bukan menggunakan mobil Damkar seperti pada umumnya. Dan yang agak disayangkan adalah banyaknya orang yang menggiring atau mengikuti si mobil. Duhhh...

Malamnya ada kabar bahwa Bupati memerintahkan didirikannya dapur umum. Dan memang tenda dapur tersebut sudah mulai berdiri esok harinya.
Beredar juga pengumuman untuk mengajak ibu-ibu menjadi relawan di dapur umum tersebut.

Yang paling menyentuh hati adalah ketika Syaima bertanya tentang penyemprotan desinfektan.
Saya meminta Syaima mencari Kittun—kucing kami—dan membawanya masuk, serta menyuruhnya mengunci pintu agar si kucing tidak lari keluar dulu hingga mobil penyemprot berlalu.

Lalu dialog yang tidak saya duga pun terjadi.

Syaima: Ummi, kenapa mobil semprotan itu berbahaya untuk kucing?

Saya: Iya, karena mobilnya menyemprotkan desinfektan. Desinfektan itu untuk membunuh virus atau mikrobiologi supaya mati.

Syaima: Kasihan ya kucing-kucing liarnya, mereka kan di jalan.

(Saya agak tersentak karena sama sekali tidak memikirkan kucing liar.)

Saya: Ngga apa apa, tadi kan ada banyak orang, mereka menyuruh orang-orang masuk ke rumah dan menyuruh kucing liar untuk minggir dulu. Kucing kan juga takut kalau ada banyak orang, nanti dia lari sembunyi.

Saya berusaha menenangkan dengan jawaban ala kadarnya.

Syaima: Ngumpet ya?

Saya: Iya. Kalau pun kena semprot, kucingnya ngga akan mati kok. Mungkin dia hanya keracunan sedikit. Nanti dia sembuh lagi (insyaaAllaah).

Lagi-lagi jawaban asal. Lalu percakapan kami dilanjutkan dengan pembahasan tentang keracunan dan tanya jawab tentang Covid-19.

Saya tidak menutupi apa pun dari Syaima. Usianya kini menginjak enam tahun.

Enam tahun nol bulan sebelas hari, Masehi.

Saya menceritakan apa yang saya tahu dan dia juga melihat apa—video—yang saya lihat. Dengan cara yang proper untuk usianya dan pemilihan kata yang tepat.

Jangan lupa, anak akan menjadi sedikit banyak khawatir dan takut. Kita harus selalu siap bersikap tepat dan memberikan pemahaman yang benar.

Wallahu a'lam.

Semoga pandemi ini segera berakhir, Aamiin.


You Might Also Like

0 komentar