Resep Rahasia

Jumat, Oktober 12, 2018



Resep Rendang

---------

“Sepertinya aku salah memilih suami.”

Wanita setengah baya, pengganti orang tuaku itu pun menghentikan adukan sendok kayunya pada daging berbumbu di dalam kuali. Aroma harum rendang menguar di dalam dapur berukuran mungil itu.

“Kenapa?” Ia memandangiku menyelidik.

Dadaku masih terasa sesak. Aku menimbang-nimbang, haruskah berterus-terang atau diam saja. Tapi pandangan wanita itu kian menyelidik.

“Entah. Seperti hambar. Tak nyaman. Salah paham saja setiap hari. Padahal sudah lima tahun kami bersama. Rasanya tak seperti awal jumpa.”

Adik Bundo, yang kupanggil Uncu itu tertawa.

“Tentu saja tak sama. Cinta itu harusnya seperti rendang. Semakin lama dimasak, akan semakin terasa enaknya. Minyaknya pun keluar, semakin gurih. Asal tahu resepnya.” Uncu mengedipkan sebelah matanya.

“Bagaimana jika aku salah memilih? Bagaimana jika dulu hanya terpikat dari fisiknya, bukan jiwanya?  Bagaimana jika ada jiwa lain di luar sana yang merupakan pasangan jiwa, dan aku sedang menyia-nyiakannya?”

Wanita itu tersenyum. Ia mematikan kompor, lalu mengambil kursi di depanku. Memandangiku lekat-lekat.

“Cinta bukan hanya masalah perasaan. Bukan hanya sekedar jantung berdebar dan mata yang terpesona. Cinta itu keputusan terbesar yang diikat  perjanjian dengan Tuhan.”

Ia beranjak dari kursi jati, mengambil sesendok rendang, meletakkan pada pinggan, dan menaruhnya di hadapanku. Aromanya segera menerbitkan air liurku. Lapar! Tapi galau. Pasti ada maksud dibalik ini.

Uncu duduk kembali di hadapanku.

“Kau tahu, banyak sekali resep rendang bertebaran di media massa. Tapi, tak semua bisa membuat rendang yang enak. Padahal mereka menggunakan bumbu yang sama. Kau tahu kenapa?”

Aku menggeleng.

“Karena mereka tidak tahu rahasianya,” bisiknya perlahan. Uncu tersenyum miring. Alisnya terangkat tinggi-tinggi. Ada aura misterius menguar darinya.

“Rahasia pertama. Pilihlah bahan yang sesuai. Gunakan cabe keriting. Jangan cabe besar biasa. Apalagi cabe rawit. Kau tau, tiap masakan butuh bahan yang sesuai dengan jenisnya. Cabe rawit akan cocok untuk masakan Jawa ayam geprek, tapi tak cocok untuk rendang. Begitu sebaliknya. Sama dengan pernikahan, pilihlah yang paling sesuai denganmu. Se-kufu. Paling tidak, pola pikirnya, juga tingkat pemahaman pada pedoman hidup.”

Aku tertawa satir. “Itu disarankan kalau sebelum menikah, Uncu. Kalau sudah terlanjur? Masak ditukarkan seperti di toko kelontong langganan? Salah beli, bisa ditukar?”

Uncu tersenyum. “Kalau sudah terlanjur, kita masuki tips kedua.”

Ia mendekatkan wajahnya yang dihiasi beberapa kerutan ke wajahku.

“Kompromi. Terhadap diri sendiri. Bertanggung jawab pada pilihan. Lakukan proses bersama. Kau tahu, rendang yang enak bukan dimasak satu persatu seperti gulai ikan. Gulai ikan, bumbu ditumis terlebih dahulu, baru dicampur ikan. Rendang tidak. Masukkan daging, santan, bumbu, lalu didihkan bersama. Sama seperti pernikahan, berproseslah bersama. Saling meningkatkan kedewasaan, sampai tiba waktunya mengeluarkan minyak. Kedewasaan itu perlu proses, bukan hal yang instan.” Uncu mengedipkan sebelah matanya yang berkerut.

Aku mendengus. “Bagaimana jika dia tidak ikut berproses dan masih tenggelam dalam ke-akuannya? Seperti ia adalah satu-satunya tokoh utama dalam cerita. Sedangkan aku, hanya figuran yang numpang lewat. Ia yang berkarir setinggi langit, tetapi memintaku tinggal di rumah mengurus hal-hal yang tak penting.”

“Itu persepsi atau fakta?” Ia mengerling.

Aku tergagap.  “Entah ….”

Uncu tertawa. “Segala sesuatunya tergantung sudut pandang. Persepsi. Manusia memang makhluk yang suka berpersepsi. Tinggal kita memilih, mau berpersepsi positif atau negatif. Jika uncu ambil sudut pandang yang lain, bukankah itu berarti suami yang bertanggung jawab, tidak ingin istrinya harus terbebani masalah nafkah?  Ia rela menjadi karang yang kuat, melindungi pasir pantai yang rapuh dari terjangan gelombang, mencegah abrasi.”

Aku merengut, tapi mulai berpikir, dan menyadari sesuatu. Namun, ada ego yang berteriak dalam hati.

“Tapi, dia berusaha mengubahku menjadi sosok lain yang tak kukenal. Aku benci sosokku saat ini. Lemah. Rapuh. Sedangkan ia, kokoh, keras, seperti karang di lautan. Harusnya ia berubah juga, menjadi seperti cangkang kerang. Sudi tenggelam dalam pasir dan mendengarkan bisikannya. Kadang pasir hanya butuh didengar ….”

Uncu menatapku dalam-dalam. “Kadang kita lupa, Rahmi. Terlalu berusaha mengubah apa yang tidak bisa diubah, tapi lupa mengubah apa yang bisa kita ubah. Diri kita sendiri. Apakah kau sudah mau mendengar saat suami pulang kerja? Apakah kau sambut dengan senyuman dan segelas teh hangat, dan menanyakan apa kabarnya kehidupan keras di luar sana? Ia pulang dalam damai, atau mendengarkan omelan tentang rumah dan anak-anak?”

Ia tersenyum samar. “Ubahlah diri sendiri dulu. Perbaiki persepsi. Memang tak mudah, tak enak. Tapi kadang sesuatu yang tak enak, menentukan rasa jika diolah dengan benar. Seperti daun kunyit, lengkuas, dan daun jeruk. Jika dirasa satu persatu, tak enak. Tapi jika diolah jadi satu dalam bumbu rendang, hmm … bersiaplah lidahmu bergoyang.”

Aku mengangguk. Sesendok rendang di hadapanku begitu menggoda. Juga banyak kebijakan di dalamnya.

“Olahlah rendangmu sendiri. Tiap orang punya resep andalan masing-masing. Jangan lupa, api kecil, tetapi dalam waktu yang lama. Akan mengeluarkan minyaknya perlahan, semakin gurih. Jangan gunakan api besar, akan cepat gosong dan terasa keras dagingnya,” sahutnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Aku mengangguk paham. Perlahan-lahan. Pasti akan menemukan kesetimbangan dalam pernikahan. Bukan memaksakan ego masing-masing, menuntut banyak hal, dalam pertikaian ataupun pertengkaran. Seperti kobaran api besar. Hanya akan menghanguskan pernikahan.

Aku menghirup dalam-dalam aroma rendang. Menenangkan, dan membuat lapar.

“Uncu, bolehkah aku meminta satu hal?”

Uncu tersenyum hangat. “Boleh, sayang. Apa?”

Aku tersenyum jahil. “Semua rendangnya untuk Rahmi, ya.”

End
By Sasti Gotama

You Might Also Like

0 komentar