Orang Tua Kita

Kamis, April 25, 2019



Anak lupa, tapi ingatan  orangtua mereka  melekat kuat..

Oleh : Ninin Kholida

Saat saya menyusui adik bayi, mba mendekat. “mi aku pengen tahu rasanya ASI”
“ ASInya buat adek aja, dulu pas mba bayi juga sudah pernah tahu rasanya kok”
“aku gak ingat … memangnya dulu aku juga minum ASInya umi?” 
“mba, mas, kakak, adek semua minum susu umi” jawab saya 
“tapi aku gak ingat, memangnya umi nyimpen fotonya dulu…aku pengen lihat” lanjut mba.

Percakapan sederhana waktu itu tampaknya biasa saja, entah mengapa saya baper banget sampai nangis.
Sedih rasanya menerima kenyataan bahwa putri kecil saya nggak ingat kalau pernah saya susui. Pikiran saya kemana-mana.

File-file lama terbuka, jadi ingat rasanya nangis di pojokan setelah menyusui. Capek banget rasanya menghabiskan 8-10 jam sehari hanya untuk menyusui tandem anak baru lahir sekaligus masnya yang sedang aktif belajar  jalan bahkan lari kesana kemari.

Saya pernah merasa kok hidup rasanya seperti ini saja, sepanjang hari hanya mengurus 3 bayi sekaligus, makan sampai 6x sehari, menyusui lagi, tidur seadanya, masih antar jemput anak pertama yang mulai sekolah. Mengingat lagi rasanya puting di gigit kanan kiri, atau mereka berdua tak berhenti menyusu sedangkan badan dan mata rasanya sudah sangat mengantuk, tapi gak bisa rebahan; hanya duduk bersandar.

Lebay ya ? toh hanya pertanyaan ingin tahu anak 5 tahun, tapi emaknya nangis sampai sesegukan.

Saya bukan menangisi pertanyaan anak saya, tapi menangisi kenyataan bahwa tidak semua hal yang kita lakukan dengan penuh pengorbanan itu ternyata melekat dalam ingatan mereka.

Kepotek rasanya hati, sedih.

Qodarullah beberapa hari berselang, saya membaca sebuah tulisan yang membahas tentang mengapa orang tua di masa senjanya menjadi sangat perasa, sensitive dan mudah tersinggung.
Bahkan jika hal-hal sepele  diabaikan anak-anaknya, seperti pesan untuk membelikan gorengan, untuk menelpon dll.

Mungkin ini cara Allah menegur dan bicara pada saya, tentang rahasia di balik perintah dan kewajiban birrul walidain.

Lalu saya pun menertawai diri saya sendiri, jangankan anak kecil yang berusia 5 tahun itu : toh umimu ini nak, bahkan juga tak tahu rasanya ASI sampai umi punya anak dan mencicipi rasanya saking penasaran.
Padahal dulu umi juga disusui sama nenek. Umi lupa, tapi nenek mengingatnya. Sama seperti yang umi rasakan sekarang ketika kau menanyakannya.

Umi, mungkin juga seluruh manusia di muka bumi tak menyimpan ingatan tentang bagaimana rasanya keluar dari Rahim melalui liang kemaluan ibunya.
Tapi sang ibu, pasti masih menyimpan kenangan tentang rasa sakit kontraksi yang bisa berlangsung berjam-jam hingga seharian lebih.

Tidak ada anak yang mengingat bagaimana rasanya 9 bulan berada di dalam kandungan, berenang-renang dalam air ketuban sambil mengenyot ibu jari. Tapi sang ibu masih menyimpan ingatan tentang mual muntah berbulan-bulan yang membuat isi makanan dalam perutnya keluar lagi, ia bahkanbisa mencium aroma bau cairan warna hijau kuning yang ia muntahkan hampir tiap pagi.
Seorang ibu tak akan pernah melupakan rasanya persalinan, teriakan saat mengedan. Ingatan tentang hal itu melekat kuat, tapi sang anak lupa. Tak punya jangkauan memori dan rasa sejauh itu.

Seorang teman yang melahirkan sesar dua anak kembarnya pernah bercerita pada saya, 
 “Saya masih bisa mendengar kepanikan dokter dan perawat karena pendarahan saya makin banyak dan sulit dihentikan. Tubuh saya rasanya  ringan seperti terbang sampai semuanya gelap” 
“Saya ingat bahkan pernah membatin, kalau saya mati saat persalinan ini saya ridho Ya Allah, tapi ijinkan anak-anak saya hidup”, ceritanya sambil menangis.

Tentu saja dia masih hidup karena bisa menceritakan kembali pengalaman near to death itu, bisa membuka mata setelah dua hari terbaring koma itu rasanya seperti sebuah keajaiban luar biasa. Nyatanya memang apa yang kita keluhkan hari ini tak sebanding dengan keajaiban yang Allah berikan setiap hari : nyawa yang masih bersatu dengan badan, nafas yang masih  bisa kita hirup, kasih sayang, cinta, pertolongan dan banyak hal lainnya. Lalu saat saya ingin mengeluh tentang anak-anak, saya kembali berusaha mengingat bahwa diberikan kesempatan untuk bisa merasakan lelah membersamai mereka tumbuh dan meniti perannya sebagai hamba Allah adalah salah satu anugerah terindah. 

--------------------------------

Kenyataannya, memang tak ada bayi yang menyimpan ingatan saat ibu ayahnya bergantian begadang menjaganya. Ia juga tak menyimpan memori tentang wajah-wajah lelah dan khawatir orangtuanya karena demam yang tak kunjung reda, batuk, muntah yang berkali-kali dan tangis yang melengking hingga lama. Tapi kedua orangtuanya menyimpan ingatan itu.

Tak ada anak yang menyimpan tentang langkah pertamanya, atau saat ia berkejaran merangkak dalam rumah. Tapi ingatan ibu ayahnya lekat. Bahkan saat mereka sekilas melihat seragam sekolah anaknya, mereka tahu bagian mana yang sering kotor karena tanah dan keringat, bagian mana yang sering sobek dan dijahit lagi.  

Orang tua selalu menyimpan kenangan yang lebih baik tentang anak-anaknya dibanding anak itu sendiri.

Karena orang tua secara aktif memberi, mengupayakan dan anak menerimanya. Maka jangan heran jika orang tua begitu sensitive jika anak-anaknya berbuat sesuatu yang menyinggung perasaan mereka, gudang memori itu terbuka seketika tanpa diminta.

Mungkin itulah hikmah mengapa berbakti pada orang tua dijadikan perintah, bukan sekedar hak atau kesukarelaan anak semata. Mungkin itulah rahasia mengapa doa untuk orang tua ada kata “kamaa rabbayani shoghiroo” karena hal-hal terberat yang dilakukan orang tua sewaktu anak-anak mereka masih kecil justru samar diingat anak-anaknya, bahkan mungkin lupa.

Setelah merenung lama, saya akhirnya bertanya pada diri sendiri : “apakah yang paling penting adalah memori dalam kepala?” bukankah kita sekolah selama belasan tahun juga pada akhirnya lupa atau sengaja melupakan berbagai rumus, PR dan jawaban pertanyaan pada ujian ? lalu apakah yang lebih penting dari ingatan dan hafalan ?   

Saya menghela nafas panjang, setelah mencari-cari foto menyusui dan tak menemukannya. Bahwa saya memang tak perlu meyakinkan apapun pada anak-anak saya bahwa saya pernah menyusui mereka.
Saya tak perlu menyesali bahwa abinya tak pernah merekam proses persalinan,  hanya untuk mengingatkan mereka bahwa saya benar-benar pernah melahirkan mereka. Tak ada yang perlu saya yakinkan dengan bukti-bukti hanya untuk membuat ingatan mereka aktif kembali.

Karena ternyata jejak yang paling penting itu bukan terletak pada berapa bytes ruang otak mereka menyimpan kenangan tentang kami orang tuanya, Bukan tentang bagaimana memori itu bertahan dalam jangka panjang.
Saya sadar kalau saya tak perlu berpayah-payah meyakinkan mereka, karena  saat saya belajar tentang saraf dan kerja otak, bahwa setiap hari ada proses lupa dan melupakan sebagai cara penghapusan memori jangka pendek yang tak relevan oleh otak kita, Itu alamiah.

Saya akhirnya sadar bahwa saya tak bisa memaksa bayi-bayi yang beranjak besar itu untuk bisa mengingat semuanya saat fungsi otak mereka belum bekerja sempurna. Justru saya mensyukurinya, karena itu bagian dari kasih sayang Allah.

Bayangkan betapa sedihnya anak-anak itu jika mereka bisa mengingat setiap detail kejadian sewaktu mereka bayi, saat perempuan yang pertama kali belajar jadi ibu itu begitu cepat tersulut amarahnya karena lelah, pasti kita pun malu jika bayi-bayi kita bisa mengingat betapa banyak kesalahan yang kita lakukan pada mereka karena kebodohan kita. 

Maafkan umi nak, kalian begitu banyak menerima ketidaksempurnaan umi dan masih saja belajar untuk mencintai. Kita ini, orang tua anak yang sama-sama saling belajar menerima kekurangan dan bersabar untuk terus belajar sehingga bisa bersyukur. 

Setelah itu, saya kian sadar bahwa fokus terpenting dalam proses ini adalah membuat semua payah jadi lillah. Mengembalikan kelemahan pada sang pemilik kekuatan tak terbatas. Terus-menerus berusaha agar ikhlas tak lagi terasa berat, karena hanya ikhas dan suka cita yang bisa menjangkau jiwa. Jiwa tak bisa disentuh hanya dengan akal logika, apalagi memori semata-mata. Bahasa pertama yang dimengerti saat kosakata belum terucap adalah bahasa rasa, kekayaan emosi jiwa. 

Karena itu berhajat benar kita semua untuk melibatkan sang Pemilik jiwa, penggenggam semesta agar menolong kita, agar memelihara fitrah anak-anak kita, memberikan rahmat kepada kedua orang tua kita. 

Lapangnya dada untuk memaafkan dan memberi maaf tak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan ilmu yang tak seberapa, karena itu kita butuh memohon pertolonganNya membersihkan jiwa yang karat lagi berpenyakit. 

Sering diri merasa bahwa berbuat baik itu adalah kelaziman dan kewajiban orang tua pada anaknya, sehingga yang muncul adalah sikap tuntut-menuntut.

Anak merasa berhak, lalu menunut hak, apalagi jika merasa telah berbuat lebih baik dari yang dilakukan orang tua.

Inilah yang kadang tak terungkap alam teori pemulihan inner child.

Padahal jika sejenak mau mendengarkan nasihat Umar pada seorang lelaki yang telah berpayah-payah menggendong ibunya untuk thawaf dan sa’I, “apakah aku telah membalas dan berbakti pada ibuku?” 
Umar menjawab, “tidak, bahkan tak cukup untuk membalas satu helaan nafas saat ia melahirkanmu” 

Asstagfirullahaladzim. Wallahu’alam bish showab   
Semarang, 9 April 2019.

You Might Also Like

0 komentar